Partai politik menurut pandangan Bung Hatta ialah sarana untuk mengorganisasikan opini publik agar rakyat bisa belajar dan merasakan tanggung jawab sebagai warga dari sebuah negara anggota dalam sebuah masyarakat (Yudi Latif, 2021). Keberadaan partai politik di Indonesia adalah penting karena sebagai penghubung antara aspirasi rakyat dengan pemerintah.
Soekarno dalam pidatonya yang berujudul Lahirnya Pancasila menyatakan Indonesia tidak didirikan hanya untuk satu orang atau satu golongan tetapi dibangun atas dasar “semua buat semua”, “satu buat semua”, dan “semua buat satu”. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban untuk membangun sistem politik yang dapat mengakomodasi semua kepentingan dari seluruh rakyat Indonesia.
Partai politik adalah organisasi yang bergerak di ranah politik. Secara ederhana, politik adalah soal merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan. Praktik demikian sudah terjadi saat masa penjajahan. Orientasinya saat itu ialah merebut kekuasaan yang sudah lama dipegang oleh penjajah.
Misalnya Boedi Utomo dan Sarekat Islam menuntut adanya Majelis Nasional dalam Volksraad. Misalnya pada pada era sekarang, PDIP berhasil mempertahankan kekuasaannya yakni memenangkan Pemilu tahun 2014 dan 2019. Dengan demikian, keberadaan partai politik sebenarnya dapat dilacak sejak masa penjajahan hingga reformasi.
Demokrasi Liberal
Masing-masing partai politik yang hidup dari masa ke masa memiliki corak tersendiri yang dipengaruhi oleh pelbagai macam faktor, terutama faktor politik. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 22 Agustus 1945, muncul gagasan partai tunggal yang diseriusi dengan pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) diberbagai daerah. Namun, pemerintah mengeluarkan maklumat pada 31 Agustus 1945 yang isinya menunda persiapan dan pembentukan PNI dan berfokus pada Komite Nasional.
Tanggal 3 November 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengeluarkan Maklumat X yang isinya pemerintah membolehkan pendirian partai-partai politik karena akan diadakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Maklumat ini menandakan kedudukan partai politik sebagai instrumen negara, serta mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan.
Pada akhirnya, terbentuklah sekitar 40 partai politik (Asshiddiqie, 2005, hlm 174). Ini merupakan tonggak awal demokratisasi partai politik di Indonesia dan partai politik mendapat legitimasi secara politik di pemerintahan.
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk atas dasar hukum Aturan Peralihan UUD 1945 yang beranggotakan perwakilan dari partai politik yang ada saat itu yakni Masjumi, PNI, Partai Sosialis, PBI, Parkindo, PKRI, dan PKI. KNIP bertugas sebagai parlemen atau lembaga legislatif, ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara, dan membentuk Badan Pekerja yang bertangungjawab kepada KNIP (Purnomo, 2010, hlm 164).
Peran partai politik semakin strategis karena menjadi anggota KNIP yang wewenangnya sedemikian besar. Partai politik yang berdiri pun beragam, sampai Kementerian Penerangan 1951 mengklasifikasikan dasar yang digunakan oleh partai politik, diantaranya ialah dasar ketuhanan, dasar kebangsaan, dasar marxisme, dll. Feith dan Castles (1993) mengelompokkan partai politik menjadi lima ideologi besar, yaitu komunisme (PKI), sosialisme (PSI), nasionalisme (PNI), tradisionalisme Jawa (PIR), dan Islam (Masyumi dan NU). Penerapan sistem multipartai pun diterapkan pada masa ini (Zulkarnain, 2018, hlm 17).
Partai politik mengalami konflik secara ideologis. Beragamnya ideologi yang diusung oleh masing-masing partai politik membuat konsensus tidak dapat dicapai. Partai politik sibuk ‘membenar-salahkan’ ideologi lain tanpa mengkritisi ideologinya sendiri. terdapat tiga peristiwa yang menggambarkan konflik ideologi ini, yaitu di forum BPUPKI/PPKI terdapat keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara; Konstituante dengan Golongan Kebangsaan yang berdebat soal relasi agama dengan negara supaya dipisahkan; dan G30S/PKI. Namun, positifnya adalah terdapat pertarungan atau kompetisi “dunia pemikiran politik” dan “dunia realitas politik” karena mereka berusaha mewujudkan apa yang mereka pikirkan (gagasan), kekuasaan tidak diperoleh dengan cara-cara praktis.
Baca Juga : Pemilu 2024 dalam Bayang-Bayang Politik Identitas
Pemilu pertama kali diselenggarakan pada 1955, tepatnya 29 September 1955 memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 memilih anggota Konstituante. Sesuai Pasal 36 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1953 partai politik dapat mengajukan calon-calonnya. Hasilnya adalah 27 partai politik menduduki kursi DPR dan 10 partai politik menduduki kursi Konstituante. Soekarno berharap, Pemilu ini dapat dijadikan semangat Revolusi Nasional bukan perpecahan.
Ternyata harapan Soekarno tidak dapat diwujudkan secara mudah. Sistem multipartai juga menyebabkan kekacauan. Menurut Daniel S. Lev, masalahnya adalah di satu sisi ada partai kecil yang menguasai pemerintahan dan di sisi lain ada partai besar yang tidak memiliki andil dalam pemerintahan. Selain itu, dikarenakan tidak ada partai politik yang mempunyai suara yang mayoritas maka pembentukan kabinet tidak dapat dilakukan dengan mudah dan justru menimbulkan perpecahan.
Melihat kondisi itu, Soekarno menyatakan kondisi demikian tidak sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda dan menciptkan ketidakstabilan dalam pemerintah, sampai-sampai Soekarno mengecam Maklumat X. Kefanatisan terhadap partai politik tidak berbeda dengan fanatisme terhadap suku dan daerah. Pada Kongres Persatuan Guru 30 Oktober 1956, Soekarno menyarankan kepada para pemimpin partai politik untuk berunding dan memutuskan keputusan satu sama lain, atau mengubur partai politik. Pandangan ini mendapat kontra dari Natsir, dia menyatakan selama demokrasi masih ada maka partai politik juga tetap ada.
Demokrasi Terpimpin
Soekarno pada pidatonya tanggal 21 Februar 1957 menunjukkan rasa kekecewaannya karena ketidakstabilan politik yang terjadi yang berakibat kurang kewibawaan kabinet (Sumarno, 2016, hlm 1062). Soekarno mengajukan dua hal, yaitu kabinet dan Dewan Nasional (Safa’at, 2011, hlm 142). Penyataan itu mendapat pertentangan dari PNI, PKI, Baperki, Masyumi, NU, PSII, dan Partai Katholik karena tidak sesuai dengan ketatanegaraan.
Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante karena gagal menyelesaikan tugasnya yaitu membentuk konstitusi, UUD 1945 diberlakukan kembali, dan membentuk MPRS, DPR GR, dan DPA. Inilah masa peralihan dari demokrasi liberal ke terpimpin dan sistem parlementer ke sistem presidensil.
Jika partai politik ingin ikut serta dalam pemerintahan maka harus menunjukkan kesetiannya pada ajaran Soekarno. Misalnya PNI dan NU ditekan untuk menerima gagasan Soekarno (Feith, 1981, hlm 201-208). Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 dalam rangka penyederhanaan partai politik. Kemudian, Kepres No. 128 dan 129 Tahun 1961, Kepres 128 berisi hanya mengakui 8 partai politik yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI, dan Kepres 129 berisi penolakan pengakuan terhadap PSII Abikoesno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Parkindo dan Perti diakui melalui Kepres 440 Tahun 1961. Penyeleksian besar-besaran yang dilakukan Soekarno memandulkan peran partai politik pada masa itu. Apalagi Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan membentuk DPR GR. Pada titik ini, Soekarno telah bertindak secara otoriter. Kesimpulannya adalah pada masa ini walaupun (masih) terdapat banyak partai politik tetapi mereka tidak memiliki peran apapun. Kehadiran partai politik hanya sekadar jumlah saja. Seluruh kekuasaan terpusat pada Soekarno.
Orde Baru
Pada masa ini, partai politik menjadi “mesin” politik penguasa sehingga partai politik lebih diarahkan pada kepentingan pelanggengan kekuasaan penguasa (status quo) (Romli, 2011, hlm 202). Sistem multipartai tetap diterapkan pada masa ini. Akan tetapi, terdapat partai politik yang terus berkuasa, yaitu Partai Golkar.
Di bawah tekanan rezim yang berkuasa, banyak pihak mengalami kekecewaan dan berusaha bangkit kembali. Hatta berusaha mendirikan Partai Demokrat Islam Indonesia tetapi tidak mendapat restu dari pemerintah dan akhirnya tenggelam (Hatta, 1991, hlm 647-649). Terdapat mantan anggota Masyumi berjuang dengan cara bergabung dengan Partai Sarekat Islam Indonesia. Badan Koordinasi Amal Muslim berhasil menyatukan 16 ormas Islam yang hendak merehabilitasi Masyumi mendapat ancaman dari rezim orde baru. Alhasil, mereka mendirikan partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia. Soeharto tidak keberatan asalkan tidak merupakan kelanjutan dari Masyumi dan pemerintah tentu tidak langsung lepas tangan. Pemerintah melalui operasi intelejennya berusaha memecah belah partai ini.
Depolitisasi yang dilakukan oleh rezim hadir secara masif. PNI dianggap reaksioner karena menganut paham marhaenisme mendapat resistensi dari AD (Yoewono, 1987, hlm 35). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan Peraturan Menteri No. 12 Tahun 1969 yang isinya adalah mengharuskan PNS untuk menjadi anggota dan simpatisan Golkar. Tak sampai di situ, Mendagri kembali mengeluarkan Surat Edaran yang mengharuskan PNS meninggalkan keanggotaannya di partai politik karena mengharuskan PNS menjadi anggota Korps Karyawan Kemendagri.
Hadirnya UU Nomor 16 Tahun 1969 merugikan partai politik yang ada. Pasalnya, di sana terdapat ketentuan bahwa 100 anggota DPR diangkat oleh pemerintah yang terdiri dari 75 ABRI dan 25 golongan fungsional non-ABRI.
Tabel 2 Pemilu 1971
Partai Politik | Kursi |
Golkar | 236 |
NU | 58 |
Parmusi | 24 |
PNI | 20 |
Parkindo | 7 |
Partai Katolik | 3 |
Perti | 2 |
IPKI | 0 |
Murba | 0 |
Sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1977 terdapat fusi atau penyederhanaan partai politik dengan berdasar pada UU Nomor 3 Tahun 1975. Peserta Pemilu tahun 1977 adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari NU, Parmusi, Perti, dan PSII; Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi dari PNI, IPKI, Murba, Partai Khatolik, dan Parkindo; dan Golkar. Hasil Pemilu tahun 1977 tidak jauh berbeda dengan Pemilu tahun 1971 yan di mana Golkar menang secara mutlak dengan perolehan 62,11%, disusul PPP 29,9%, dan PDI 8,6%.
Pemilu tahun 1982 berdasar pada UU Nomor 2 Tahun 1980. Pada Pemilu ini Golkar berhasil menambah 10 kursi karena Golkar mempermainkan birokrasi. Indikasinya adalah sebelum Pemilu dilaksanakan terbit undang-undang yang menjadikan aparat pemerintahan desa sebagai PNS, setelah Pemilu dilaksanakan muncul banyak isu kecurangan dan manipulasi hasil Pemilu AD (Yoewono, 1987, hlm 43)
Pemerintah mengeluarkan Tap MPR RI No. 11/MPR/1983 yang isinya menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap kekuatan sosial politik. Selain itu, UU Nomor 1 Tahun 1985, UU Nomor 2 Tahun 1985, dan UU Nomor 3 Tahun 1985 memperjelas sikap pemerintah dalam mengubah format politik dalam kepartaian. Perubahan itu berkaitan dengan penerapan pancasila sebagai satu-satunya asas dan perubahan orientasi partai politik dari orientasi ideologi ke orientasi program.
Pemilu selanjutnya dilaksanakan pada 23 April 1987. Golkar semakin berkuasa dengan memperoleh 73,17%, kemudian PPP 13,7% dan PDI 10,86%. Kursi DPR ditingkatkan menjadi 500. Sehingga Golkar semakin membesar dan menjadi partai dominan, sedangkan PPP dan PDI semakin tidak berdaya (Friyanti, 2005, hlm 77). Kemudian, hasil Pemilu tanggal 9 Juni 1992 ialah Golkar 68,10%, PPP 16,99%, dan PDI 14,29%. Pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh 65%, PPP 18%, dan PDI 2%. Akumulasi kursi dari Golkar dan ABRI mencapai 400 kursi atau 80%.
Ernest Utrecht (1971) berkomentar, Golkar berkuasa dengan cara intimidations and threats, arresting opponent regarded as dangerous, misusing government facilities, and putting into practice the fraudelent system of bebas partai. Andree Feilard juga melakukan penelitian terhadap intimidasi yang dilakukan oleh penguasa, salah satu temuannya ialah Babinsa di tingkat desa sering memaksa warga untuk menandatangai pernyataan meninggalkan NU. Liddle menyatakan semua partai politik terkubur di bawah tangan longsoran Golkar (Liddle, 1992, hlm 64).
Reformasi
Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, diikuti oleh menurunnya kuasa dwifungsi ABRI dan kembalinya netralitas PNS. B. J. Habibie menjadi presiden dan mempersiapkan langkah-langkah di bidang kepartaian dan Pemilu. Habibie memberi tempat kepada PPP dan PDI dengan memberi pos Menteri Investasi/Kepala BKPM kepada Hamzah Haz (PPP) dan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BAPPEDAL kepada Paniagan Siregar (PDI). Habibie tidak melarang pembentukan partai politik sehingga muncul 141 partai politik baru. Habibie juga melarang PNS menjadi anggota partai politik sehingga dapat terhindar dari konflik kepentingan. Tiga undang-undang diterbitkan oleh Habibie, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pada akhirnya, Habibie berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1999.
Para partai politik berbenah terhadap internalnya untuk persiapan Pemilu, seperti memperbaiki pola rekrutmen kader (Pahlevi, 2014, hlm 112). Terdapat 141 partai politik yang terdaftar di Depatermen Kehakiman tetapi hanya 48 partai politik yang lolos menjadi peserta Pemilu tahun 1999. Lima besar perolehan suara Pemilu tahun 1999 adalah PDIP 33,74%, Golkar, 22,43%, PKB 12,60%, PPP 10,71%, dan PAN 7,11%. Namun, pada tahun ini presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR.
Berbagai upaya dan perubahan dilakukan guna mewujudkan demokrasi yang substansial dan wakil rakyat yang akuntabel, misalnya dicantumkannya daftar nama calon anggota legislatif dalam surat suara sehingga kertas suara sangat lebar (Pahlevi, 2014, hlm 122). Memasuki masa Pemilu tahun 2004, terdapat kenaikan jumlah partai politik yang ada, yaitu 237 partai politik dan hanya 50 partai politik yang mendapat pengesahan. Pemilu tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik yang didasarkan pada UU Nomor 12 Tahun 2003. Hasilnya adalah Golkar 21,58%, PDIP 18,53%, PKB 10,57%, PPP 8,15%, Demokrat 7,45%, dll.
Pada Pemilu tahun ini Indonesia pertama kali melakukan pemilihan presiden secara langsung yang dilaksanakan 2 kali putaran. Pada putaran pertama, terdapat lima pasangan calon yang bertanding, Hamzah Haz dan Agum Gumelar, Amien Rais dan Siswono, Megawati dan Hasyim Muzadi, Wiranto dan Salahuddin Wahid, dan SBY dan Jusuf Kalla. SBY dan Jusuf Kalla yang diusung oleh Demokrat, PKB, PKS, PAN, PBB, dan PKPI berhasil memenangkan putaran kedua dengan perolehan 60,62%.
Terjadi penurunan jumlah partai politik yang eksis saat memasuki Pemilu tahun 2009, yaitu 132 partai politik. 22 partai politik lolos verifikasi dengan 16 partai politik, yang terdiri atas 7 partai politik yang lolos electoral threshold sebesar 3% dan 9 partai politik yang mendapat kursi di DPR (Aji, 2020, hlm 7). Sehinga, partai politik yang menjadi peserta Pemilu tahun 2009 sebanyak 38 partai politik di tingkat nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Hasil Pemilu legislatif 2009 adalah Demokrat 26,43%, Golkar 19,29%, PDIP 16,61%, PKS 10,54%, PAN 7,50%, dll. Pada Pilpres tahun ini, Demokrat masih bisa mempertahankan posisinya dengan mengusung SBY dan Boediono yang berhasil memperoleh 60.80% suara. Demokrat kali ini berkoalisi dengan PKS, PAN, PPP, dan PKB.
Memasuki Pemilu tahun 2014, ada 14 partai politik baru yang mendaftar ke Kemenkumham tetapi hanya satu yang lolos yaitu Nasdem. 34 partai politik mendaftar ke KPU, yang lolos 12 partai politik dan 3 partai politik lokal di Aceh. Hasil Pemilu legislatif 2014 adalah PDIP 18,95%, Golkar 14,75%, Gerakan Indonesia Raya 11,81%, Demokrat 10,19%, PKB 9,04%, dll. Kemudian Pilpres menghadirkan dua pasangan calon yaitu Jokowi dan Jusuf Kalla melawan Prabowo dan Hatta Rajasa. Jokowi dan Jusuf Kalla yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan Hati Nurani Rakyat, berhasil memenangkan Pilpres dengan perolehan suara 53,15%.
Pada tahun ini, ada dua koalisi besar yang bersaing, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura, yang menugusung Jokowi dan Jusuf Kalla melawan Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Golkar yang mengusung Prabowo dan Hatta Rajasa. KIH memenangkan Pilpres dengan 53,15% suara.
Ada 27 partai politik mendaftar ke KPU tetapi hanya 14 partai politik yang memenuhi syarat. Hasil Pemilu legislatif 2019 ialah PDIP 19,33%, Gerindra 12,57%, Golkar 12,31%, PKB 9,69%, Nasdem 9,05%, dll. Pada tahun ini, berlaku parliamentary threshold sebesar 4% sehingga hanya 9 partai politik yang berhak memperoleh kursi di DPR, yaitu PDIP, Partai Gerakan Indonesia Raya, Golkar, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.
Jokowi dengan wakilnya, Ma’ruf Amin, yang diusung oleh Koalisi Indonesia Kerja yang terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKP Indonesia berhasil mengalahkan Prabowo dan Sandiaga Uno yang diusung oleh Koalisi Indonesia Adil Makmur yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan Partai Berkarya. Jokowi dan Ma’ruf Amin memperoleh 55,50% suara.